Article Detail

Keluarga Air Hidup Bagi Anggota Keluarga, Sesama, dan Tarakanita


Rm. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF mengajak Pasutri karyawan Tarakanita agar selalu berdoa dan menimba energi ilahi.

Tim Kerasulan Keluarga Yayasan Tarakanita pada Sabtu, 15 Februari 2025, mengadakan rekoleksi bagi Pasangan Suami Istri Guru dan Karyawan Tarakanita Wilayah secara daring melalui zoom meeting.

Rekoleksi ini diberikan oleh Rm. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF dalam rangka mengajak para Pasutri selain untuk terlibat dan berpartisipasi memberikan kesejukan dalam seluruh hidup dan karya para suster terutama yang dikembangkan Yayasan Tarakanita.

Ia juga mengajak lebih jauh para peserta, menanggapi dan merefleksikan situasi zaman yang mengalami kekeringan hingga menggerus kehidupan keluarga dengan berbagai krisis kehidupan bahkan sampai menjamur di tengah keluarga.

Rekoleksi dengan tema “Keluarga Air Hidup Bagi Anggota Keluarga, Sesama, dan Tarakanita” menghadirkan kurang lebih 239 pasutri dari jenjang KB/TK hingga SMA/SMK semua sekolah Tarakanita yang berada di wilayah Jakarta.

Turut hadir dalam menyambut dan mengadakan pertemuan ini adalah jajaran pengurus Yayasan Tarakanita. Jajaran pengurus dipimpin oleh Sr. Brigitta, CB, selaku Ketua, beserta Sr. Yudith, CB sebagai sekretaris eksekutif, Sr. Giovanni, CB selaku Ketua Kerasulan Keluarga Yayasan Tarakanita.

Selain itu, turut hadir juga Ketua Panitia Ibu Rista beserta seluruh panitia yang mewakili setiap unit karya yang berkarya di Tarakanita wilayah Jakarta.

Keluarga Mitra Kerasulan

Perlu diketahui, keluarga menempati posisi dan peran utama dalam misi dan karya kerasulan para suster Cinta Kasih Carolus Borromeus. Melalui pengajaran, dukungan dan contoh dalam keluarga, pendidikan iman menjadi sumber awal untuk setiap anggota yang lahir di dalamnya, terutama anak-anak.

Keluarga sungguh terlibat dalam pelayanan dan membantu mendidik anak-anak tentang nilai-nilai kehidupan Kristiani serta memberikan dukungan emosional, spiritual serta material, bagi seluruh anggota keluarga. 

Peran keluarga semacam ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bunda Elisabeth, pendiri Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Carolus Borromeus dalam EG 51, ….membangun dasar hidup yang baik…. 

Bunda memandang keluarga memiliki andil besar demi dasar hidup yang baik bagi setiap anak yang lahir dari keluarga. Perwujudan dan tindak lanjut dalam pengembangan inilah yang mau diambil oleh karya-karya yang dikembangkan oleh para suster Carolus Borromeus.

Air Hidup dalam Perjalanan Sinodal

Mengawali rekoleksi ini, Romo Agung mengajak peserta melihat panggilan para suster bagaimana menjadi air hidup dalam perjalanan sinodal. Bahwa menjadi Air Hidup berarti seluruh hidup dan karya itu mengalirkan kesejukan yang senantiasa menghidupkan bagi siapapun yang memandang dan hidup di dalamnya.

Sementara itu sinodal berarti berjalan bersama. Dengan demikian untuk bisa mendapatkan kesejukan yang menghidupkan itu maka cara yang relevan untuk dilakukan adalah melalui hidup doa dimana di saat inilah setiap pribadi bisa menimba energi Ilahi secara tak berkesudahan. 

Pemberian kesejukan melalui hidup dan karya para suster ini mengandaikan bahwa siapapun yang berkarya dan bekerjasama dengan para suster CB agar senantiasa dan turut serta memberikan kesejukan bagi siapapun dalam melaksanakan karya Kongregasi.

Setiap pribadi mengambil peran dan partisipasi aktif untuk meneruskan kesejukan kepada siapapun terutama kepada setiap pribadi yang dilayani

Air Hidup, Situasi Kekeringan Semesta dan Keluarga

Dalam paparannya Romo Agung mengajak peserta untuk menyaksikan cuplikan situasi Yesus di Sumur Yakub yang berdialog dengan perempuan Samaria tentang Air Hidup dan bagaimana refleksi mendalam dari Bunda Elisabeth akan situasi ini.

Elizabeth dalam refleksinya lebih senang untuk duduk mendekati Yesus manis yang kepayahan di pinggir sumur Yakub, bersama dengan wanita Samaria dan aku mau memohon bersamanya “Tuhan aku haus, berilah aku air yang menghidupkan itu!”

Kekeringan yang dirasakan Bunda Elizabeth juga dirasakan saat ini. Kekeringan ini identik dengan keprihatinan zaman ini seperti indiferen, intoleran, individualis, konsumerisme, xenophobia, agresi-kebencian, fanatisme, populisme, fundamentalisme, rasis, kekerasan hingga nasionalis sempit harus mendapat respon. Inilah kekeringan dunia yang selalu dihadapi.  

Oleh Romo Agung kekeringan global ini menjamur juga dalam hidup internal manusia secara khusus dalam keluarga. Bertolak dari Family Time mulai tergerus oleh screen time dimana digitalisasi semakin mempersempit ruang gerak manusia dimana kehidupan dalam keluarga yang dekat terasa jauh dan sebaliknya.

Pengaruh digitalisasi menjadikan orang merasa lebih mandiri, kurang sosial (individualistis) serta penghayatan hidup rohani atau iman dan nilai-nilai moral semakin luntur. Muncullah generasi baru seperti generasi strawberry yang malas berjuang, sedikit-sedikit butuh healing, mageran

Komunikasi, Kebutuhan Hidup dan Harmonisasi Relasi

Bagaimana menghadapi situasi yang demikian runyam dan dilematis untuk menghadirkan air hidup ditengah masyarakat maupun di tengah keluarga. Mulaialh dari keluarga dengan menghadirkan rasa aman, bernilai, dihargai, dipahami dan dicintai melalui komunikasi yang harmonis. Komunikasi menjadi jalan yang selalu terbuka untuk membuka dan membingkai sebuah keberlanjutan keharmonisan dalam hidup.

Romo Agung mengingatkan komunikasi itu meliputi komunikasi etis/sopan santun/basa basi, komunikasi pikiran/diskusi serta yang terpenting adalah komunikasi perasaan atau hati. Setiap pribadi yang dipanggil sebagai air hidup mengartikan perkawinan tidak lagi sebagai pasangan yang memiliki privasi melainkan kesatuan seluruh hidup sebagai satu daging sebagaimana entitas perkawinan dalam Gereja Katolik. Keluarga hendaknya mengalirkan air hidup kepada seluruh anggota keluarga hinga menyebar ke masyarakat, jangan sampai kekeringan.

Menimba Energi Ilahi melalui Doa 

Pada akhir sesi, Romo Agung menantang peserta dengan sebuah pertanyaan apakah doa di tengah keluarga itu sebagai kewajiban atau sebagai kebutuhan?

Elisabeth Gruyters menghayati kemampuan berdoa sebagai anugerah Allah dan berdaya kerasulan serta menghayati bahwa apapun yang dilakukan itu menjadi sebuah persembahan doa (Kons. 49).

Doa membuat orang lain ditolong untuk menemukan sumber kekuatan utama yang tak dapat dirampas oleh pihak lain yaitu cinta Tuhan. Doa menjadi dapur perapian yang senantiasa menjalankan cinta kasih dalam komunitas manapun termasuk dalam keluarga. 

Dengan berdoa “mengambil bagian dalam duka-Mu” hendaknya menginspirasi bahwa kedukaan ini hanya akan berlalu jika akhirnya kita kembali dan berserah diri pada energi Ilahi yaitu Tuhan sendiri.

Kesan dan Apresiasi

Selanjutnya, Romo Agung sangat mengapresiasi akan ada kegiatan rekoleksi seluruh pasutri di Yayasan Tarakanita. Walaupun dilaksanakan secara daring tetapi antusiasme keikutsertaan dan partisipasi tercermin melalui kehadiran hingga akhir sesi. 

Romo mengharapkan kegiatan ini kedepan bisa menghadirkan seluruh anggota keluarga sebagai bagian dari Keluarga Besar Yayasan Tarakanita, akan semakin hidup dan menyemarakan peran serta keluarga yang selalu menghadirkan air hidup.

Bapak Paulus Manap, salah satu peserta dari peserta lainnya yang secara langsung mengapresiasi yang luar biasa kepada Yayasan Tarakanita akan adanya kegiatan ini serta mengapresiasi proses  pembentukan karakter dan nilai-nilai Tarakanita dalam panti pendidikan di seluruh sekolah. 

Inilah yang menjadikan mereka menjadi pekerja yang handal, jujur, disiplin dan mampu berdaya saing. Senada dengan ini Ibu Sri Lestari mengharapkan adanya dukungan seluruh pasangan akan berbagai kegiatan, aturan ataupun kebijakan dari Yayasan Tarakanita ke depannya

Mengakhiri Rekoleksi Pasutri ini, Sr. Giovanni, CB menyampaikan rasa terima kasih yang luar biasa kepada Romo Agung yang telah menginspirasi semua peserta.

Rasa terimakasih yang sama juga disampaikan kepada seluruh peserta rekoleksi agar energi baru yang diterima hari ini semakin mencerahkan setiap keluarga untuk menjadi air hidup di tengah keluarga itu sendiri, di sekolah serta di tengah masyarakat. 

Penulis: Bernardus Boli

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment